Text
Dekolonisasi Indonesia
Sesudah 17 Agustus 1945, transformasi raksasa mulai dilakukan, model negara kolonial yang dimulai sejak Hindia Belanda, pendudukan Jepang, diubah dengan lahirnya Republik Indonesia. Frances Gouda dalam bukunya American Vision of the Netherlands East Indies/Indonesia (2002,44) sendiri menyebutnya sebagai “1776 di Indonesia”, semangat Revolusi Kemerdekaan di Amerika Serikat untuk membangun Republik, diatas keruntuhan Hindia Belanda dan kalahnya Jepang di medan Asia Timur Raya. Namun, tahapan Republik Indonesia yang baru merangkak mengalami cobaan berat disaat periode dekolonisasi 1945-1962. Disaat yang bersamaan, Republik Indonesia menghadapi berbagai masalah internal, mulai dari administrasi pemerintahan, teritori, kebijakan luar negeri, kepartaian, organisasi ke-militer-an, sampai pemberontakan.rnrnSementara itu, pasuk13an Sekutu dan Belanda menganggap bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanyalah ‘lepas’ dari pendudukan Jepang. Peluncutan kekuatan militer Jepang, pengembalian tawanan perang Jepang, dan “pemulihan ketertiban” menjadi agenda utama bagi kedatangan pasukan Sekutu, 29 September 1945 dibawah pimpinan Jenderal Christison. Akan tetapi, kehadiran pasukan Sekutu yang diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) memicu “tindakan provokasi” via kontak senjata dengan kaum Republik, sampai terjadinya Polisionale Actie melalui Operation Kraai dan Operation Product (hal.20-35). Sewaktu agresi militer tersebut, diselingi pula banyak perundingan yang justru membuat wilayah Republik semakin menciut, misal Perjanjian Linggarjati dan Renville. Bahkan, ibukota Republik pindah ke Yogyakarta tahun 1946, lalu dibentuk pula Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi tahun 1948,. Di bagian lain, setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar, ternyata masih menyisakan problem Irian Barat, hutang Hindia-Belanda ke Republik Indonesia Serikat, format Uni Indonesia-Belanda (hal.42-48).rnrnDalam buku terbitan tahun 1986 ini, Mr.Dr.C. Smit mencoba menjelaskan bahwa tahapan dekolonisasi yang dialami Indonesia dimulai sejak 17 Agustus 1945 sampai 15 Agustus 1962, saat masalah Papua Barat mulai menemui kata sepakat. Dalam lampirannya, buku ini juga menyertakan profil singkat para diplomat Belanda yang terlibat dalam berbagai perundingan dengan Republik Indonesia, misal Dr. H.J.Van Mook, Mr.D.U. Stikker, Dr. J.H.A Logemann, Dr.Ir.W.Schermerhorn dan sebagainya. Peran yang diambil oleh para diplomat Belanda tersebut adalah faktor kunci bagaimana garis politik luar negeri yang diambil oleh Belanda setelah Perang Dunia II. Sebab yang dihadapi adalah iklim dekolonisasi dan resistensi terhadap Eropa yang bergemuruh sejak 1945 sampai tahun 1960-an di wilayah Asia-Afrika, termasuk Indonesia sendiri.rnrnBuku yang berjudul asli De Dekolonisatie van Indonesie menjelaskan bagaimana kronologi “tarik ulur” diplomasi Indonesia-Belanda yang ditebus dengan keterlibatan dunia internasional dan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan sengketa itu. Dengan membaca buku ini, pembaca akan diajak untuk memahami fase penting dalam mempertahankan Republik setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Serupa dengan pengalaman Vietnam yang mendeklarasikan kemerdekaannya, 2 September 1945, namun menjalani perjuangan bersenjata sampai Perang Dien Bien Phu melawan Prancis, kemudian disambung Konferensi Geneva tahun 1954, meskipun akhirnya masih menyisakan masalah dengan Vietnam Selatan sampai tahun 1975.rnrnFase yang dikenal sebagai Revolusi Nasional Indonesia ini sangat kental dengan kombinasi kelihaian gerilya dan diplomasi. Tercatat peran Jenderal Sudirman, Wikana, Tan Malaka, A.H Nasution yang mencetuskan Merdeka 100% dalam perang gerilya, setara dengan nama Haji Agus Salim, Amir Syarifudin, Moh. Roem, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung dan Ali Sastroamidjojo di aras diplomasi.rnrn.Di sisi lain, Mr.Dr.C. Smit kurang memberikan banyak porsi tentang dekolonisasi Irian Barat. Padahal dekade 1950-1960-an, Republik Indonesia banyak mengalami gesekan sampai pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda di tanggal 17 Agustus 1960, akibat masalah Irian Barat, apalagi Kapal Karel Doorman milik Belanda sudah ada di perairan wilayah itu (hal.48-56). Lebih jauh lagi, untuk menggalang “tekanan” internasional, Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955 mengagendakan dukungan 29 negara peserta KAA 1955 akan Masalah Irian Barat untuk dibicarakan antara kedua belah pihak (Indonesia-Belanda), seperti yang termaktub di Final Komunike Asia-Afrika dalam poin Masalah-Masalah Lain.rnrnus, pada akhirnya dinamika hubungan Indonesia-Belanda selepas periode dekolonisasi 1945-1962, sampai sekarang masih menyisakan banyak tanda tanya,misal sikap Belanda yang (masih) belum mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, ditambah lagi aksi militer Belanda selama 1945-1949 yang merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan. Hal ini belum termasuk mentalitas inlander/”pribumi” dan mindeerwaardigheidscomplex/”minder atau rendah diri” yang dalam beberapa pidato Ir.Soekarno dibahasakan sebagai Een natie van koelies en een koelie onder de naties/ “Bangsa para kuli dan kuli diantara bangsa yang lain” . Poin ini menjadi permasalahan pelik diantara sekian banyak negara bekas koloni (Asia-Afrika), yang (selalu) ditandai pasang surut relasi dengan negara “bekas tuannya” berikut pula nation-character building pasca-kolonial.
No other version available