Text
Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama
Perjalanan Harian Kompas—yang terbit pertama tanggal 28 Juni 1965 dan didirikan oleh Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama—tak bisa lepas dari tiga titik balik yang menentukan. Pertama, keputusan Jakob Oetama siap memikul tanggung jawab menandatangani surat permintaan maaf, dini hari 5 Februari 1978. Kedua, keputusan Jakob Oetama memilih profesi jurnalistik sebagai panggilan hidup. Ketiga, kepergian P.K. Ojong yang mendadak tanggal 31 Mei 1980, padahal selama ini urusan bisnis menjadi tanggung jawabnya, sementara urusan redaksi tanggung jawab Jakob Oetama.
Apa yang bakal terjadi andaikan Jakob Oetama tidak mengambil alih tanggung jawab? Kompas mungkin akan tinggal nama, menjadi salah satu fosil korban pemberedelan. Andai Jakob Oetama menjadi dosen dan dikirim mengambil program doktor di Universitas Leuven, Belgia atau University of Columbia, AS seperti yang dijanjikan, mungkin tidak akan lahir koran dengan terobosan-terobosan mencerahkan, yang merupakan bagian dari usaha survival-nya di bawah pemerintahan represif Soeharto.
Andaikan Ojong tidak meninggal mendadak, mungkin tidak hadir sekian suku usaha di bawah nama seorang Jakob Oetama, sosok sederhana yang lebih senang disebut wartawan daripada pengusaha; yang selalu menyebut keberhasilan Kompas adalah berkat kerja keras, sinergi, dan karena diberkati Allah.
Dengan lebih dari 20.000 karyawan di bawah payung Kompas Gramedia pada 50 tahun usia Kompas, 28 Juni 2015, seolah-olah semua terjadi secara kebetulan, tetapi bagi Jakob Oetama sebenarnya semua terjadi berkat penyelenggaraan Allah (providentia dei).rnrnUn journal c’est un monsieur, koran itu bersosok, kata pepatah Perancis. Karena sosok Jakob Oetama, Kompas pun bersosok. Begitu pula sebaliknya.
No other version available